Aku usap kaca jendela bus beberapa kali, membentuk bulatan-bulatan kecil. Terasa dingin di telapak tanganku. Lalu aku hapus semuanya. Embun yang menempel di kaca jendela pun hilang sudah. Bayangan yang seolah-olah menghalangiku terhadap dunia luar sudah tak ada lagi. Pagi baru saja menjelang. Langit timur yang aku tinggalkan semalam kini dipulas kemerahan. Tampaknya matahari mencoba menggeliat; membebaskan cahayanya supaya bisa menyentuh sahabatnya, pucuk-pucuk padi yang sedang kesepian menguning.
Bus keluar di mulut tol Ciujung, kira-kira 20 km sebelum kota Serang. Jalan tol Cikampek-Merak memang terputus di sini. Sisanya sedang dalam pengerjaan. Jika jalan tol ini sudah rampung, tentu segalanya akan jadi lancar. Tapi kata versi yang lain, malah kota-kota di eks Karesidenan Banten ini akan semakin ketinggalan, karena tak akan satu pun kendaraan yang singgah. Seperti kata sebuah anekdot, kalau sudah ngebut di jalan tol suka lupa berhenti. Berarti, semua kendaraan cuma akan melaju kencang melintasi eks Karesidenan Banten dan "wusssss!" anginnya saja yang membekas.
Bus terus meluncur menyibak genangan air, sisa dari hujan semalam. percikannya berhamburan dilindasi roda-roda dan menimbulkan bunyi desisan yang merdu. Beberapa orang sudah ada yang mulai menggeliat dan sibuk memberesi barang-barangnya. Tapi Nana, yang mengajakku liburan ke kampung halamannya, masih asyik bermimpi.
Bus keluar di mulut tol Ciujung, kira-kira 20 km sebelum kota Serang. Jalan tol Cikampek-Merak memang terputus di sini. Sisanya sedang dalam pengerjaan. Jika jalan tol ini sudah rampung, tentu segalanya akan jadi lancar. Tapi kata versi yang lain, malah kota-kota di eks Karesidenan Banten ini akan semakin ketinggalan, karena tak akan satu pun kendaraan yang singgah. Seperti kata sebuah anekdot, kalau sudah ngebut di jalan tol suka lupa berhenti. Berarti, semua kendaraan cuma akan melaju kencang melintasi eks Karesidenan Banten dan "wusssss!" anginnya saja yang membekas.
Bus terus meluncur menyibak genangan air, sisa dari hujan semalam. percikannya berhamburan dilindasi roda-roda dan menimbulkan bunyi desisan yang merdu. Beberapa orang sudah ada yang mulai menggeliat dan sibuk memberesi barang-barangnya. Tapi Nana, yang mengajakku liburan ke kampung halamannya, masih asyik bermimpi.
Aku sendiri tidak bisa menikmati perjalanan bus malam ini. Terguncang-guncang sepanjang Yogya-Magelang-Semarang, dibanting ke kiri-ke kanan di Alas Roban, terkatung-katung membosankan di jalur lurus Cirebon-Cikampek, dan melaju dalam kecepatan tinggi dijalan tol Cikampek-Merak, bukanlah sesuatu yang menyenangkan buatku untuk teman tidur. Aku betul-betul iri melihat Nana tertidur yenyak. Wajah yang cantik itu tampak begitu damai. Tak terganggu oleh goncangan bus. Jiwa dan raganya memang sudah menyatu dengan alam. Dan selalu pasrah pada kehendak Tuhan.
Padahal aku mengenal Nana belum begitu lama. Dia adalah sahabat baruku. Dua tahun yang lalu, waktu itu sedang Pekan Orientasi Mahasiswa, aku melihat Nana sebagai calon mahasiswi yang keras kepala, Itu mungkin ungkapan yang tepat baginya selain sebutan pemberani.
Download : Senja Di Selat Sunda
Artikel yang sama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar