Februari 13, 2011

Home > > Ketika Cahaya Hidayah Menerangi Qalbu

Ketika Cahaya Hidayah Menerangi Qalbu

PENDAHULUAN

Dua puluh enam tahun bermukim di Amerika Serikat, telah saya dapatkan keleluasaan sekaligus kesempatan yang berharga untuk banyak bergaul dengan para warga Muslim Amerika, baik secara perorangan maupun juga bersama-sama keluarganya. Pengalaman ini begitu mengilhami dan semakin memperkuat iman didalam dada saya. Saya akui, seperti juga para imigran Muslim lain di sana, saya jalani kehidupan sebagai seorang Muslim dengan lebih baik daripada ketika kami masih berada di negri sendiri. Keadaan ini terdorong oleh para Mualaf (muslim baru) setempat yang patut saya banggakan dan hargai.

Sebagian besar mereka, dibanding diri saya sendiri, sangat tinggi pengetahuannya tentang Islam dan, begitu pula pengamalan ajaran Islam. Semoga Allah SWT memberi saya kesempatan mengejar kertertinggalan saya dari mereka. Sebagian besar dari para insan Muslim yang kisahnya disajikan disini merupakan anggota masyarakat Muslim biasa-biasa saja di Amerika Utara. Namun apa yang telah mereka lakukan itu, saya rasakan adanya pengaruh yang amat besar terhadap diri mereka sendiri dan orang-orang disekeliling mereka.

Kepahlawanan itulah, walaupun bersifat lokal, perlu untuk kita kenali. Ini merupakan perubahan positif ditataran akar-rumput masyarakat Amerika, yang membuat heran bahkan mengagetkan para penganut agama lain disana. Sebagai contoh, banyak dari para narapidana yang sangat kejam telah berubah menjadi warga negara berperilaku baik dan anggota masyarakat yang cinta damai, setelah mereka menerima Islam dalam kehidupan mereka.

Para mualaf Amerika ini adalah cahaya hidayah bagi Muslim dan Non-Muslim. Diam-diam, mereka telah menghiasi masyarakat Amerika dengan perilaku mereka yang amat mengesankan. Pada waktu itu saya adalah guru matematika di sebuah Sekolah Negeri di Maryland. Menjadi guru adalah pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran. Banyak guru yang menjadi sangat kelelahan karenanya. Biasanya para anggota Departemen Matematika mengadakan acara makan siang bersama seluruh anggota pada akhir semester. Kami menamakan acara ini “Proses Pengenduran”. Kami selalu menghidangkan masakan yang kami masak sendiri, yang dikenal dengan nama Sloopy Joe, daging sapi giling yang dimasak dengan saus tomat dan cabai halus. Hidangan ini dimasak di Departemen kami menggunakan pemasak yang diatur lambat pemanasannya. Rekan-rekan kami sangat menyukai ‘sloopy joe’ ini.

Suatu kali, saya mengumumkan keras-keras bahwa sayalah yang akan menyediakan daging sapi giling untuk acara mendatang. Semua rekan sangat setuju. Ketika waktunya telah tiba, saya terlibat percakapan yang sangat berharga dengan seorang kolega; Namanya Cindy; ia beragama Yahudi. Dalam pembicaraan itu saya mengatakan kepadanya, “Tidakkah kamu merasa beruntung aku bawakan daging sapi giling untuk kita semua, yang halal bagi kita berdua?” Diluar dugaan, ia menjawab, “Tuan Ahmad, saya ini bukan Yahudi yang taat, bahkan saya pun memakan daging babi.” Maka saya pun tidak melanjutkan membahas hal ini agar terhindar dari hal yang peka.

Cindy dan saya memiliki perhatian yang sama dalam hal perumahan karena kami berdua juga sama-sama berprofesi sebagai Tenaga Penjualan Perumahan yang terdaftar. Cindy bekerja pada kantor perantara penjualan real-estate milik suaminya. Ia mengatakan bahwa keadaan pasar real-estate cukup baik. Ia pun menceritakan bahwa ia harus lebih sering mengurusi usaha suaminya itu, mengingat bahwa suaminya adalah seorang Perwira berpangkat Kolonel yang berdinas di Pentagon; Markas Besar Militer Amerika Serikat. Saya katakan kepadanya, “Cindy, kenapa kamu tidak pernah muncul bertugas dalam kegiatan sore di sekolah kita, seperti acara pertandingan bola basket ataupun kegiatan olah raga yang lain?” Iapun menjawab dengan nada berani, “Kepala Sekolah tidak bisa mewajibkan saya mengerjakan tugas itu karena saya harus mengantarkan anak-anak saya dan juga anak-anak tetangga saya ke Sekolah Ibrani (sekolah agama Yahudi) tiga kali seminggu di hari kerja. Ini merupakan kegiatan tambahan diluar kegiatan rutin pelayanan keagamaan. Saya lakukan ini secara sukarela sejak beberapa tahun terakhir.” Betapa Cindy telah mengejutkan saya. Diam-diam, Sayapun berbicara kepada diri sendiri; perhatikanlah perempuan muda ini. Ia seorang guru purna-waktu yang setiap hari kerja menyetir mobil sendiri menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah selama empat puluh lima menit sekali jalan. Selain itu ia masih bekerja paruh-waktu sebagai agen penjualan real-estate. Diluar itu semua, ia adalah seorang perempuan berkeluarga lazimnya, yang lengkap dengan kehidupan rumah-tangga dan kegiatan sosial. Sungguhpun begitu ia masih sanggup meluangkan waktu dan mengikatkan-diri (berkomitmen) dengan sukarela melayani kegiatan sekolah agamanya. Walaupun begitu, ia masih menganggap dirinya sebagai pemeluk Yahudi yang buruk.

Sayapun mulai mempertanyakan, adakah komitmen pribadi saya, dan orang-orang di sekitar saya yang merasa telah menjadi Muslim yang shalih. Semoga Allah SWT mengokohkan Iman dan Amaliyah kami sebagai Muslim. Amiin.

Imtiaz Ahmad, Madinah Al-Munawwarah, Juni 2002

Download  :  Ketika Cahaya Hidayah Menerangi Qolbu


Artikel yang sama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar